Bali memang unik dan menarik bagi semua orang, tidak hanya
Bangsa sendiri tetapi juga Bangsa-bangsa di seluruh dunia membicarakan
tentang “Bali”. Salah satu keunikan yang sudah menjadi tradisi umat
Hindu Bali dimanapun berada tidak pernah melupakan prihal; Otonan atau
Ngotonin, yang merupakan peringatan hari kelahiran berdasarkan satu
tahun wuku, yakni; 6 (enam) bulan kali 35 hari = 210 hari. Jatuhnya
Otonan akan bertepatan sama persis dengan; Sapta Wara, Panca Wara, dan
Wuku yang sama. Misalnya orang yang lahir pada hari Rabu, Keliwon
Sinta, selalu otonannya akan diperingati pada hari yang sama persis
seperti itu yang datangnya setiap enam bulan sekali (210 hari).
Berbeda dengan peringatan hari Ulang Tahun yang hanya menggunakan
perhitungan tanggal dan bulan saja, dengan mengabaikan hari maupun wuku
pada tanggal tersebut. Misalnya seseorang yang lahir tanggal 10
Januari, maka hari ulang tahunnya akan diperingati tiap-tiap tanggal 10
Januari pada tahun berikutnya (12 bulan kalender).
Otonan Ni Luh Widya Patmawati jatuh setiap "PAGERWESI" Buda Kliwon Uku Sinta. Pada kesempatan kali ini Otonan nya jatuh pada Rabu,14 Agustus 2013 yang dirayakan dengan membuatkan tebasan lantang tuwuh pageh urip oleh sang Ibu. Upacara dilakukan di ruang kamar tidur yang di tuntun oleh sang Ayah untuk menyelesaikan upakara yang sudah disediakan.
Otonan diperingati sebagai hari kelahiran dengan melaksanakan upakara
yadnya yang kecil biasanya dipimpin oleh orang yang dituakan dan bila
upakaranya lebih besar dipuput aleh pemangku (Pinandita). Sarana pokok
sebagai upakara dalam otonan ini ada1ah; biyukawonan, tebasan lima,
tumpeng lima, gebogan dan sesayut.
Diawali dengan nunas tirta ke merajan atau sanggah di rong telu dengan Ida Bhatara Guru prosesi Otonan bertanda akan segera dimulai. Membawa sode dan canang sari ke merajan oleh Suami Wayanyasa dilaksanakan sekitar pukul tujuh malam. Menghaturkan sode di rong telu, dan canang sari di setiap pelinggih karena hari ini bertepatan juga dengan hari pagerwesi, kliwon dan otonan.
Sesudah selesai menghaturkan sode dan canang, persembahyangan dimulai bersama, Bapak, Wayanyasa dan Luh Widya di merajan tepat di depan pelinggih rong telu memanjatkan doa-doa dan puji-puji serta rasa syukur yang sudah diberikan sampai saatnya sekarang masih dalam keadaaan sehat walafiat sehingga bisa sembahyang.
Menurut tradisi umat Hindu di Bali, dalam mengantarkan doa-doa otonan
sering mempergunakan doa yang diucapkan yang disebut sehe (see) yakni
doa dalam bahasa Bali yang diucapkan oleh penganteb upacara otonan yang
memiliki pengaruh psikologis terhadap yang melaksanakan otonan, karena
bersamaan dengan doa juga dilakukan pemberian simbol-simbol sebagai
telah menerima anugerah dari kekuatan doa tersebut.
Sebagai
contoh : Melingkarkan gelang benang dipergelangan tangan si empunya
Otonan, dengan pengantar doa : “Ne cening magelang benang, apang ma
uwat kawat ma balung besi” (Ini kamu memakai gelang benang, supaya ber
otot kawat dan bertulang besi).
Ada dua makna yang dapat dipetik
dari simbolis memakai gelang benang tersebut adalah pertama dilihat
dari sifat bendanya dan kedua dari makna ucapannya. Dari sifat bendanya
benang dapat dilihat sebagai berikut :
1. Benang memiliki
konotasi beneng dalam bahasa Bali berarti lurus, karena benang sering
dipergunakan sebagai sepat membuat lurus sesuatu yang diukur. Agar hati
selalu di jalan yang lurus/benar.
2. Benang memiliki sifat lentur dan tidak mudah putus sebagai simbol kelenturan hati yang otonan dan tidak mudah patah semangat.
Sedangkan
dari ucapannya doa tersebut memiliki makna pengharapan agar menjadi
kuat seperti memiliki kekuatannya baja atau besi. Disamping kuat dalam
arti fisik seperti kuat tulang atau ototnya tetapi juga kuat tekadnya,
kuat keyakinannya terhadap Tuhan dan kebenaran, kuat dalam menghadapi
segala tantangan hidup sebab hidup ini bagaikan usaha menyeberangi
samudra yang luas. Bermacam rintangan ada di dalamnya, tak terkecuali
cobaan hebat yang sering dapat membuat orang putus asa karena kurang
kuat hatinya.
Dalam rangkaian upacara otonan berikutnya sebelum
natab, didahului dengan memegang dulang tempat sesayut dan memutar
sesayut tersebut tiga kali ke arah pra sawia (searah jarum jam) dengan
doa dalam bahasa Bali sebagai berikut: “Ne cening ngilehang sampan,
ngilehang perahu, batu mokocok, tungked bungbungan, teked dipasisi
napetang perahu “bencah” (Ini kamu memutar sampan, memutar perahu, batu
makocok, tongkat bungbung, sampai di pantai menemui kapal terdampar).
Dari doa tersebut dapat dilihat makna:
1.
“Ngilehang sampan ngilehang perahu” bahwa hidup ini bagaikan diatas
perahu yang setiap hari harus kesana-kemari mencari sesuatu untuk
memenuhi kebutuhan hidup ini. Badan kasar ini adalah bagaikan perahu
yang selalu diarahkan sesuai dengan keinginan sang diri yang menghidupi
kita.
2. “Batu makocok” adalah sebuah alat judi. Kita teringat
dengan kisah Pandawa dan Korawa yang bermain dadu, yang dimenangkan
oleh Korawa akibat kelicikan Sakuni. Jadi hidup ini bagaikan sebuah
perjudian dan dengan tekad dan keyakinan yang kuat harus dimenangkan.
3.
“Tungked bungbungan” (tongkat berlobang) adalah bambu yang dipakai
kantihan yakni sebagai penyangga keseimbangan samping perahu agar tidak
mudah tenggelam karena bambu bila masih utuh memang selalu terapung.
“Perahu hidup ini” jangan mudah tenggelam oleh keadaan, kita harus
selalu dapat mengatasinya sehingga dapat berumur panjang sampai
mempergunakan tongkat (usia tua).
4. “Teked dipasisi napetang
perahu bencah” (sampai di pantai menemui perahu / kapal terdampar).
Terinspirasi dari sistem hukum tawan karang yang ada pada jaman dahulu
di Bali, yakni setiap ada kapal atau perahu yang terdampar di pantai di
Bali, rakyat Bali dapat dengan bebas menahan dan merampas barang yang
ada .pada kapal yang terdampar tersebut. Maksudnya supaya mendapatkan
rejeki nomplok, atau dengan usaha yang mudah bisa mendapatkan rejeki
yang banyak.
Demikian luhurnya makna doa yang diucapkan dalam
sebuah upacara otonan bagi masyarakat Hindu Bali yang dikemas dengan
simbolis yang dapat dimaknai secara fisik maupun psikologis, dengan
harapan agar putra-putri yang menjadi tumpuan harapan keluarga
mendapatkan kekuatan dan kemudahan dalam mengarungi kehidupan.
Berlangsung sekitar 10 menit lamanya dari natab, sembahyang dan nunas tirta upacara Otonan Luh Widya berjalan dengan hikmat dan penuh rasa syukur. Semoga kedepan Luh Widya diberikan kesehatan dan kebahagiaan lahir dan bathin. Astungkara...