JUAL BELI PERALATAN PHOTOGRAPHY DI BALI

Berkorban Nyawa Demi Persatuan Nusantara


Nama Kebo Iwa sudah lama dikenal orang Bali. Membaca atau mendengar kisah hidupnya kita seakan disodorkan kisah fiksi (dongeng) bercampur sejarah. Sebagai tokoh sejarah, Kebo Iwa digambarkan sebagai sosok patih yang maha sakti. Ada sumber menyebutkan, ia adalah patih dari Raja Gajahwaktra yang memerintah di Bedahulu (sekarang Bedahulu) sekitar tahun 1324 M-1343 M. Kebo Iwa disebutkan salah seorang panglima militer Bali pada masa pemerintahan Prabu Sri Asta Sura Ratna Bumi Banten pada awal abad ke-14.

Sebagai tokoh fiksi, Kebo Iwa yang juga memiliki nama lain Kebo Taruna dan Kebo Wandira itu, digambarkan sebagai manusia luar biasa. Putra dari panglima Rakyan Buncing itu digambarkan sebagai manusia raksasa yang tinggi besar. Jangkauan kakinya sangat lebar, sehingga ia dapat bepergian dengan cepat. Kalau ia ingin minum, tinggal menusukan telunjuknya ke tanah lalu terbentuklah sumur kecil yang mengeluarkan air.

Kebo Iwa juga dapat mengukir batu dengan kuku tanganya. Setiap ada lubang besar, orang menyebut itu bekas telapak kaki Kebo Iwa. Ada pula yang mengatakan, sebuah batu karang berlubang di Pantai Soka (Tabanan) adalah periuk Kebo Iwa. Kebo Iwa memang digambarkan sebagai manusia raksasa yang kuat makan sehingga untuk menanak nasi, perlu periuk berukuran raksasa pula.

Meskipun sakti mantraguna,   Kebo Iwa tidak memiliki sifat ego, ataupun sombong. Kisah akhir hidupnya yang tragis, bahkan mengundang berbagai penafsiran yang sarat makna. Itu bisa dilihat ketika Mahapatih Gajah Mada berniat menaklukan Bali demi terwujudnya persatuan Nusantara. Mahapatih Kerajaan Majapahit itu merasa tak mungkin menaklukan Bali, semasih Kebo Iwa hidup. Strategi yang kemudian ditempuh untuk diajak ke Majapahit. Kebo Iwa dimohonkan bantuan untuk membuat sumur karena kerajaan di Jawa Timur itu sedang mengalami krisis air. Sebagai hadiahnya, Kebo Iwa akan dianugrahi gadis cantik nan jelita dari Lemah Tulis.

Kebo Iwa memenuhi permintaan itu. Saat menggali sumur, Orang-orang suruhan Gajah Mada melempari Kebo Iwa dengan batu agar orang kuat dari Bali itu terkubur hidup-hidup. Kebo Iwa bangkit dan sadar diberdaya. Ia kemudian membuka rahasia kelemahanya, untuk membunuh dirinya agar menggunakan pamor (batu kapur) dan daun sirih.

Cerita dari mulut ke mulut itu pun menimbulkan berbagai penafsiran makna. Masyarakat Bali menyebut pamor sebagai lambang Dewa Siwa dan daun sirih adalah lambang Dewa Wisnu. Dengan demikian, Kebo Iwa mendapat ruwatan dari Dewa Siwa dan Wisnu untuk mencapai moksha. Di beberapa daerah, orang-orang tua sebelum nginang (mengunyah daun sirih yang dicampur buah pinang, pamor, dan gambir), pucuk daun sirih dipotong terlebih dahulu. Mengapa? Hal itu dilakukan untuk mengenang kematian Kebo Iwa.

Adanya berbagai macam penafsiran rupanya tidak bisa dibendung. Misalnya, mengapa Kebo Iwa rela mati? Ada tafsiran, karena cita-cita Gajah Mada sangat mulia: mempersatukan Nusantara. Jadi, demi persatuan, Kebo Iwa rela mengorbankan nyawa.